Diary Day 5, Mengenal lebih dekat budaya Mandar termasuk belajar tentang motif tenun kain sarung sutra dan melihat pertunjukkan Sayyang Pattudu.
Yang pasti, dari Kota Palu tim Terios 7 Wonders Amazing Celebes Heritage kembali bergerak untuk menyusuri etape ketiga dengan destinasi selanjutnya adalah Kota Pare Pare.
Namun, sebelumnya tim mampir terlebih dahulu ke kota Majene yang berada di Sulawesi Barat Untuk mengunjungi salah satu desa pengerajin kain Tenun Mandar.
Karena keunikannya kain tenun dari kota Majene ini memang layak menjadi salah satu dari Amazing Celebes Heritage.
Pun agak terlambat, akhirnya tim Terios 7 Wonders akhirnya sampai di lokasi sekitar pukul 19:00 WITA.
Kedatangan kami pun disambut dengan hangat oleh warga setempat.
Bahkan kami disambut dengan tari – tarian khusus untuk menyambut tamu disana. Mereka menyebutnya dengan Sayyang Pattudu atau kuda menari.
Ada juga yang menyebutnya sebagai To Messawe ( red; orang yang mengendarai).
Daftar Isi
Mengenal Lebih Dekat Budaya Mandar Yang Unik
Dalam Sayyang Pattudu dipertunjukkan dengan adanya sepasang gadis desa yang menari di atas kuda.
Pun yang saya lihat disini mereka hanya tebar senyum sana – sini hingga ada beberapa anggota tim yang sepertinya terpesona.
Selain itu, yang menarik perhatian saya di Sayyang Pattudu adalah cara duduk mereka di atas kuda yang unik.
Satu kaki yang ditekuk ke belakang dan lutut menghadap ke depan.
Kaki yang lainnya terlipat dengan lutut menghadap ke atas sementara telapak berpijak pada punggung Kuda.
(Baca Juga : Terios 7 Wonders : Diary Day 3.5, Apa Pula Itu Kaledo? )
Untung saja kuda yang mereka tumpangi kalem, jadi mereka tidak terjatuh.
Selain itu mereka didampingi beberapa oang disampingnya agar keseimbangannya terjaga ketika kuda yang ditunggangi sedang menari dan mengangguk seperti orang lagi dugem. *bisa dibayangkan bukan?*
Biasanya Sayyang Pattudu dimeriahkan dengan arak-arakan kuda yang dikendarai oleh anak yang khatam Alquran dengan mengelilingi desa.
Setiap anak yang mengendarai kuda tadi akan dihias sedemikian rupa.
Kuda dalam Sayyang Pattudu juga bukan kuda biasa.
Mereka sudah terlatih untuk mengikuti irama tabuhan rebana yang mengalun ramai.
Apa Itu Sayyang Pattudu?
Suku Mandar memiliki sebuah warisan budaya takbenda yang sangat khas dan unik, yaitu Sayyang Pattudu.
Sayyang Pattudu adalah tarian kuda yang sangat populer di kalangan suku Mandar.
Tarian ini biasanya diadakan dalam rangka syukuran khatam Al-Qur’an.
Kuda yang digunakan dalam Sayyang Pattudu dihias sedemikian rupa dan ditunggangi oleh pesayyang, disayyang, dan pesarung yang mengenakan pakaian tradisional khas Mandar.
Selama menunggang kuda, peserta disertai dengan tabuhan musik rebana dan pembacaan syair khas Mandar yang disebut kalindaqdaq.
Syair yang dibacakan biasanya membahas tentang Islam dan adat istiadat suku Mandar.
Bukan Sekedar Pertunjukkan Tari
Sekilas memang terlihat seperti sebuah pertunjukan tari, namun Sayyang Pattudu sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat Mandar.
Tradisi ini bertujuan untuk mendidik dan memberikan nasihat kepada anak-anak suku Mandar agar lebih semangat dalam menamatkan bacaan Al-Quran.
Tidak hanya sebagai tarian syukuran, Sayyang Pattudu juga sering ditampilkan sebagai tari penyambut tamu kehormatan dalam masyarakat Mandar.
Awalnya, Sayyang Pattudu hanya dilakukan oleh para bangsawan Kerajaan Balanipa pada masa pemerintahan Daengta Tommunae.
Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini kemudian berkembang menjadi tradisi masyarakat Mandar secara keseluruhan.
Kuda yang digunakan dalam Sayyang Pattudu harus sudah terlatih dan dapat menari sesuai dengan irama musik yang dimainkan.
Selain itu, kuda juga harus dirias dan diberi alat tunggangan yang khas seperti kasur kecil, kalung perak, penutup muka kuda yang melingkar, dan kacamata kuda.
Pertunjukkan Sayyang Pattudu Diiringi Tabuhan Rebana
Untuk menambah keindahan tarian, Sayyang Pattudu juga diiringi oleh penari dan penyair dengan tabuhan rebana.
Peserta Sayyang Pattudu terdiri dari pesayyang, disayyang, dan pesarung yang memiliki peran masing-masing.
Pesayyang adalah pendamping anak selama menunggang kuda, disayyang adalah anak yang menunggang kuda, dan pesarung adalah pengawal disayyang selama menunggang kuda.
Jumlah pesarung dalam Sayyang Pattudu biasanya terdiri dari empat orang yang dibagi dua ke sebelah kiri dan kanan kuda.
Pesarung harus memiliki kekuatan yang kuat dan dihormati dalam keluarga disayyang.
Selama acara Sayyang Pattudu berlangsung, pesarung akan berjalan kaki di samping kuda yang ditunggangi oleh disayyang.
Warisan Budaya Khas Mandar Yang Bernilai Positif
Bagi masyarakat Mandar, Sayyang Pattudu bukan hanya sebuah tarian biasa, melainkan sebuah warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai persaudaraan, gotong-royong, dan kerohanian.
Tarian ini menjadi festival tahunan yang diadakan di Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju.
Nilai-nilai positif yang terkandung dalam Sayyang Pattudu menjadikannya sebagai alat komunikasi budaya yang sangat penting bagi masyarakat Mandar.
Melalui Sayyang Pattudu, mereka dapat menjaga kearifan lokal dan melestarikan tradisi nenek moyang mereka.
Selain itu, Sayyang Pattudu juga menjadi wadah untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di antara masyarakat Mandar.
Dalam acara ini, semua kalangan dari berbagai latar belakang sosial dan agama dapat berkumpul dan merayakan kebersamaan.
Hal ini menguatkan rasa persaudaraan dan tolong-menolong di antara masyarakat Mandar.
Dalam perkembangannya, Sayyang Pattudu juga menjadi daya tarik wisata budaya di Sulawesi Barat.
Festival Sayyang Pattudu yang diadakan di Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju, selalu menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara.
Mereka dapat menikmati keindahan tarian Sayyang Pattudu dan merasakan nilai-nilai persaudaraan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Mandar.
Dengan semakin dikenalnya Sayyang Pattudu di kalangan masyarakat Indonesia dan dunia, diharapkan tradisi ini dapat terus dilestarikan dan diwariskan ke generasi selanjutnya.
Sehingga, warisan budaya takbenda ini akan terus hidup dan memperkuat identitas serta keberagaman budaya Indonesia.
Ada Banyak Budaya Mandar Yang Menarik Untuk Diamati Disini
Sayyang Pattudu memang berhasil memukau saya, mengukuhkan kalau banyak tradisi unik di tanah Celebes.
Namun Mandar tidak hanya punya itu saja ya.
Masih ada Tenun Mandar yang juga merupakan salah satu alasan tim Terios 7 Wonders mengunjungi Majene.
Disebutkan kalau sarung tenun sutra mandar adalah salah satu yang terbaik.
(Baca Juga : Terios 7 Wonders : Diary Day 3.5, Apa Pula Itu Kaledo? )
Melihat Proses Pembuatan Tenun Khas Mandar
Tenun Mandar memiliki ciri khas warna – warna cerah dan terang. Seperti warna merah menyala, kuning dengan desain geometris yang lebar.
Budaya Mandar yang ini menarik sekali untuk diamati.
Penggunaan benang perak dan emas sebagai bahan dasar kain sutra ini menjadikan sarung tenun sutra Mandar menjadi indah dan terlihat istimewa.
Biasanya motif sarung tenun sutra Mandar dibuat untuk menunjukkan kasta atau tingkatan derajat pemakainya.
Namun sekarang ini kebanyakan sengaja dibuat untuk dijual sebagai penambah penghasilan.
Harganya dijual di kisaran harga 200 ribu – 500 ribu rupiah. Ada yang mau beli? :)
( Baca Juga : Terios 7 Wonders : Diary Day 11, Mengenal Phinisi Dari Bulukumba )
“Upah menenenun selembar kain biasanya sekitar 75 ribu” Kata Zulmi gadis berumur 20 tahun yang masih menjadi mahasiswi semester 3 di Universitas Sulawesi Barat jurusan Informatika.
Wow! Menurut saya itu upah yang terlalu murah untuk sebuah mahakarya.
Pun begitu Zulmi begitu bersemangat untuk melestarikan warisan budaya menenun kain mandar dengan alat sederhana yang didapatkannya secara turun temurun.
“Siapa lagi yang akan meneruskan kalau bukan kita, generasi muda” Tambah Zulmi.
Oke teman – teman, mari kita juga ikut melestarikan budaya Indonesia yang lain bersama sama!
Hasil Kain Tenun Mandar Cakep Cakep
Dari seorang Zulmi saya juga mengetahui cara membuat kain tenun khas Mandar ini.
Prosesnya ternyata cukup rumit.
Dimulai dari memintal benang, dilanjutkan dengan memisahkan helaian sutera, dari satu kepompong ke yang lain.
Lalu dilanjutkan dengan penjemuran baru proses tenun dilakukan.
Jika Proses dilakukan dengan tahapan yang salah, maka hasil kain tenun nantinya tidak akan sesuai yang diinginkan.
Wah, ribet banget ternyata cara bikinnya.
Sepertinya berhenti sejenak di Mandar untuk belajar kilat tenun – menenun sangat kurang.
Sayangnya saya dan tim Terios 7 Wonders harus melanjutkan ke Kota Pare Pare.
Karena keesokan harinya adalah hari raya Idul Adha.
Dari pada terlambat datang lagi seperti di desa suku bajo Torosiaje, lebih baik tim segera bergegas menuju Pare Pare.
Asal-Usul Sejarah Suku Mandar
Suku Mandar, yang merupakan kelompok etnis terbesar kedua di Sulawesi, memiliki sejarah dan adat budaya yang begitu menarik untuk dijelajahi.
Persekutuan antara tujuh kerajaan pesisir dengan tujuh kerajaan pegunungan pada abad ke-16 menjadi awal terbentuknya suku Mandar.
Dari sinilah asal-usul terciptanya suku bangsa yang saling menguatkan dan melengkapi satu sama lain.
Meskipun begitu, hingga saat ini asal usul kata ‘Mandar’ masih menjadi perdebatan. Beberapa menyebutkan bahwa nama ‘Mandar’ berasal dari kata ‘Sipamandar’ yang artinya saling melengkapi.
Sementara pendapat lain menyebutkan bahwa kata ‘Mandar’ berasal dari nama sebuah sungai di Balanipa, yaitu “Sungai Mandar” atau sungai Tinambung sekarang ini.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa suku Mandar memiliki kekayaan budaya yang luar biasa.
Salah satu dari warisan budaya takbenda suku Mandar adalah Sayyang Pattudu, sebuah tarian kuda yang dilakukan pada acara khatam Al-Qur’an.
Tarian ini menjadi festival tahunan yang diadakan di Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju.
Melalui adat dan tradisi yang dimilikinya, suku Mandar juga mengajarkan nilai-nilai persaudaraan, gotong-royong, tolong-menolong, kerohanian, dan persaudaraan sosial.
Hal ini menjadikan suku Mandar sebagai salah satu kelompok etnis yang begitu kaya dan unik di Indonesia.
Bahasa Yang Digunakan Suku Mandar
Bahasa Mandar adalah bahasa yang digunakan oleh Suku Mandar, yang memiliki sejumlah dialek yang berbeda.
Bahasa ini banyak digunakan di wilayah Sulawesi Barat, seperti Majene, Polewali Mandar, dan Mamuju.
Dialek bahasa Mandar yang paling banyak digunakan adalah dialek Balanipa.
Ciri utama bahasa Mandar terletak pada bunyi ucapan pada huruf b, d, j, dan g.
Ketika huruf-huruf itu diapit dengan huruf vokal, pelafalannya akan berubah.
Sebagai contoh, kata “pebamba” akan berubah menjadi “pevamba”, “dada” menjadi “dazda”, “bija” menjadi “bijya”, dan “magara” menjadi “maghara”.
Dialek Balanipa sendiri memiliki beberapa varian, seperti Lapeo, Pambusuang, Karama, Napo, Tandung, dan Toda-todang.
Keanekaragaman bahasa dan dialek dalam Suku Mandar menunjukkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh suku tersebut.
Adat dan Budaya Suku Mandar Lainnya Selain Sayyang Pattudu
Suku Mandar merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki warisan budaya yang kaya dan unik.
Salah satu di antaranya adalah tradisi kalindaqdaq yang menjadi bagian dari upacara adat dan keagamaan.
Puisi tradisional ini memiliki makna mendalam dan seringkali dibacakan pada upacara sayyang pattu’du’, maulid nabi, atau upacara perkawinan.
Selain itu, suku Mandar juga memiliki kebudayaan dalam bidang pelayaran yang sangat memukau, yaitu perahu Sandeq.
Perahu bercadik warisan Austronesia ini merupakan simbol kebaharian masyarakat Mandar dan memiliki kecepatan yang sangat luar biasa.
Pembuatannya pun dilakukan dengan ritual-ritual khusus yang berkaitan dengan pemilihan waktu yang tepat, seperti pemotongan kayu pada hari ke-15 kalender Hijriah dan ketika matahari menanjak naik.
Budaya Mandar Kalindaqdaq
Kalindaqdaq, sebuah seni sastra tradisional yang dimiliki oleh suku Mandar, mencerminkan kekayaan dan keindahan budaya mereka.
Puisi ini biasanya dibacakan pada upacara-upacara adat atau keagamaan yang diselenggarakan di masyarakat Mandar.
Menurut beberapa versi, istilah kalindaqdaq berasal dari kata ‘kali’ yang berarti ‘gali’ dan ‘daqdaq’ yang berarti ‘dada’.
Sehingga, kalindaqdaq secara harfiah dapat diartikan sebagai menggali isi hati seseorang.
Beberapa kalindaqdaq yang populer di masyarakat Mandar antara lain adalah Usanga bittoeng raqdaq, Di pindoqna I Bolong, I kandiq pala, dan Mambure pecawanna.
Setiap kalindaqdaq memiliki keunikan dan makna tersendiri.
Melalui kalindaqdaq, masyarakat Mandar mampu menyampaikan pesan-pesan kearifan lokal dan nilai-nilai kebudayaan mereka.
Dalam puisi-puisi tersebut, terdapat unsur-unsur keindahan bahasa, makna mendalam, dan kaya akan khazanah budaya lokal yang patut diapresiasi dan dilestarikan.
Sebagai warisan budaya yang berharga, kalindaqdaq menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Mandar dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya mereka kepada dunia.
Oleh karena itu, penghargaan dan dukungan terhadap upaya pelestarian kalindaqdaq perlu terus dilakukan, agar budaya Mandar tetap terjaga dan dapat diapresiasi oleh generasi masa depan.
Salah satu kalindaqdaq yang populer adalah berikut:
Passambayang moqo daiq
Pallima wattu moqo
Iyamo tuqu
Pewongang di aheraq.
Yang Artinya:
Bersembahyanglah engkau
Berlima waktu lah
Itulah dia
Bekal di akhirat.
Budaya Mandar Perahu Sandeq
Perahu Sandeq merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Mandar yang memiliki nilai historis dan keindahan seni yang sangat tinggi.
Perahu ini bercadik warisan Austronesia yang telah berevolusi di Mandar dan kini dianggap sebagai puncak kebudayaan Mandar dalam bidang kebaharian.
Perahu Sandeq berfungsi sebagai sarana transportasi masyarakat Mandar dalam berlayar hingga ke berbagai wilayah.
Kecepatan perahu ini pun sangat memukau, mencapai 20-30 knot atau setara dengan 50 km/jam.
Tidak heran jika perahu Sandeq disebut sebagai salah satu perahu layar tercepat di dunia.
Tak hanya memiliki nilai estetika yang tinggi, proses pembuatan perahu Sandeq juga sarat dengan nilai-nilai budaya yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Mandar.
Proses pembuatan perahu Sandeq dilakukan dengan berbagai ritual yang terkait dengan pemilihan waktu yang tepat untuk menebang pohon yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan perahu Sandeq.
Salah satu ritual terkait dengan waktu memotong pohon, yang dilakukan pada hari ke-15 kalender Hijriah.
Selain itu, pemotongan kayu juga dilakukan ketika matahari menanjak naik dan ketika angin sedang berhembus.
Semua proses tersebut mengandung makna simbolik yang sangat dalam bagi masyarakat Mandar, yang menunjukkan kearifan lokal mereka dalam menjaga kelestarian budaya dan alam.
***
Dengan adanya warisan budaya seperti kalindaqdaq dan perahu Sandeq ini, suku Mandar terus mempertahankan tradisi-tradisi tersebut sebagai bagian dari identitas dan jati diri mereka. Selain itu, keberadaan warisan budaya ini juga menjadi nilai tambah bagi kekayaan budaya Indonesia.
Suku Mandar Adalah Pelaut Ulung
Suku Mandar memang memiliki sejarah panjang sebagai pelaut ulung yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Mereka telah mengarungi berbagai rute pelayaran dari zaman dahulu kala, seperti yang tertuang dalam sumber-sumber literatur kuno. Dalam tulisan L.J.J.
Caron, disebutkan bahwa orang Mandar paling banyak mengarungi rute Mandar-Singapura-Mandar-Borneo dan Mandar-Singapura-Mandar-Maluku.
Sedangkan dalam Memorie Leijdst, Assistant Resident van Mandar, ditemukan catatan bahwa jalur pelayaran orang Mandar tidak hanya sampai Maluku, namun juga sampai ke Papua Nugini.
Sekarang ini, suku Mandar tidak hanya terdapat di Sulawesi Barat, melainkan juga menyebar hingga ke berbagai daerah di Indonesia seperti Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Populasi suku Mandar di Sulawesi Barat sendiri diperkirakan lebih dari 260.000 orang, sedangkan di Kalimantan Selatan terdapat sekitar 29.322 orang.
Namun, meski telah menyebar ke berbagai daerah, suku Mandar tetap mempertahankan adat dan budaya mereka, seperti teknologi pembuatan perahu, pengetahuan kelautan, dan pelayaran yang masih menjadi bagian penting dari sejarah mereka.
Kini, kebudayaan suku Mandar telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya Nusantara yang patut dijaga dan dilestarikan.
Ps: Tulisan ini adalah catatan perjalanan saya selama mengikuti ekspedisi terios 7 wonders, jelajah celebes heritage. Ikuti terus live tweet saya di #Terios7Wonders @catperku.
Berani Bermimpi, Berani Traveling, Berani Bertualang!
Ikuti travel blog catperku di social media : Instagram @catperku, Twitter @catperku & like Facebook catperku. Travel blog catperku juga menerima dukungan dengan donasi, dan atau ajakan kerjasama.
assalamu alaikum wr.wb.
Pertama saya ucapkan terima kasih atas tulisan anda yang mengangkat aset budaya kami. Kami berharap melalui tulisan ini, kami lebih dikenal lagi.
Namun ada yang mesti anda lakukan lagi, yakni meralat beberapa kata yang ada dalam tulisan terutama mengenai tempat. Karena anda menulis bahwa Polewali Mandar, berarti itu menunjukkan bahwa anda mengunjungi Polewali Mandar dan aset budaya yang anda lihat adalah budaya mandar Polewali Mandar. Padahal anda mengunjungi kabupaten Majene dan saya sendiri sebagai penghubung kalian ke Pemkab Majene.
Saya heran, karena sebetulnya bukan anda saja yang menuliskan Polewali Mandar, tapi semua peserta rombongan Terios 7 Wonders Amazing Celebes Heritage. Sudah ada yang saya hubungi dan meminta untuk untuk mengganti frasa Polewali Mandar menjadi Majene dan sudah dilakukan. Tapi masih banyak lagi yang belum saya hubungi karena tulisan mereka belum kutemukan, termasuk anda yang baru kutemukan pagi ini.
Jadi saya berharap kata Polewali Mandar dalam tulisan anda menjadi Majene karena yang menyambut anda adalah Pemkab Majene. Dan saya akan sangat berterima kasih jika anda sudi memberitahukan kepada teman-teman seperjalanan anda. Sebetulnya saya berharapa kepada Bondan dan Norma (Pepi) untuk menyampaikan ini kepada kalian karena mereka berdua sudah kuberitahukan atas kesalahan lokasi ini dan sudah berjanji.
Untuk mengingat kembali malam itu di Majene, Saya rizaldy mengenakan baju kemeja warna putih, postur jangkung, mungkin yang paling tertinggi diantara orang yang ada.
Terima Kasih dan salam persahabatan.
Wassalamu Alaikum wr.wb
Rizaldy