Panduan Wisata Gunung Papandayan, Untuk Pendaki Pemula!

Ini adalah panduan wisata ke Gunung Papandayan terbaru 2024 untuk pendaki pemula! Seperti apa? Simak dengan baik sampai selesai di travel blog wisata Indonesia catperku.com ini ya!

Weekend atau akhir minggu adalah hari yang selalu ditunggu para weekend getaway lover seperti saya.

Weekend bisa dibilang adalah hari yang sakral untuk para tawanan kapitalis kantoran, terutama yang tinggal di ibu kota.

Apalagi Jakarta adalah kota yang kering dengan destinasi alam yang bisa bikin pikiran seger.

Untungnya disekitar jakarta ada banyak sekali destinasi alam yang bisa dikunjungi tanpa memerlukan cuti yang menurut saya harganya lebih mahal dari emas itu.

Dan, Gunung Papandayan yang berada di daerah Garut adalah destinasi weekend getaway yang saya pilih kali ini.

*sebenernya udah ngebet banget pengen dikunjungi dari lama sih*

Cerita Mendaki Gunung Papandayan Di Akhir Pekan

Bersama teman baru di Gunung Papandayan
Bersama teman baru di Gunung Papandayan

Gunung Papandayan yang jaraknya kurang lebih sekitar 240 km dari jakarta ini, bisa ditempuh dalam waktu 5-6 jam.

Rute untuk mencapainya pun juga ada banyak pilihan, mulai dari bus sampai kereta juga ada.

Namun berdasarkan perhitungan saya, Jika dari jakarta, naik bus adalah cara yang paling efisien untuk menuju Gunung Papandayan.

Ada dua terminal utama di ibu kota yang bisa bisa digunakan sebagai titik awal keberangkatan menuju Gunung Papandayan, Garut.

Yang pertama adalah Terminal Kampung Rambutan dan yang kedua adalah Terminal Lebak Bulus.

Naik dari manapun jalan yang akan dilewati akan sama yaitu menuju Bandung terlebih dahulu baru ke Garut, lewat jalan tol Cipularang.

Yang membedakan adalah akses menuju kedua terminal tersebut.

Peta jalur Jakarta - Garut melewati jalan tol Cipularang
Peta jalur Jakarta – Garut melewati jalan tol Cipularang

Karena saya kemarin berangkat dari terminal Kampung Rambutan, saya akan sedikit membahas lebih detail rute keberangkatan melalui jalur ini.

Dari Jakarta Pusat, Terminal Kampung Rambutan bisa dicapai dengan bus ac yang lewat jalan Jendral Sudirman (bus ac jurusan Tanah Abang – Kampung Rambutan).

Alternatifnya terminal kampung rambutan juga bisa dicapai dengan Trans-Jakarta meskipun harus beberapa kali transit.

Sampai di Terminal Kampung Rambutan, kemungkinan besar bus akan menurunkan di luar terminal, jadi bisa menunggu diluar terminal atau masuk ke dalam terminal untuk mencari bus dengan tujuan Garut.

Mencarinya pun enggak terlalu ribet, tinggal jalan saja pasti banyak yang nanya “mau kemana mas?” , “ke puncak mas?”, bandung – banduuung…”, “lamar saya cepet – cepet dong mas” eh, kalau yang terakhir tadi pasti yang bilang pacar saya :p

Kalau yang belum pernah main – main ke terminal, jangan kaget ya,- terminal di Indonesia emang gitu.

Ada banyak banget yang suka kepoin kita kemanapun melangkah.

Entah itu calo tiket, preman, kenek bus sampai mbak – mbak yang mau ngajak kenalan. Yang penting tetap pede aja, fokus sama tujuan awal.

Kata temen yang sudah expert traveling ke Kota Garut, sebenarnya paling enak naik bus dari terminal Lebak Bulus, karena ada bus ekonomi ac Primajasa yang tarifnya pasti.

*enggak kena inflasi seenaknya sama kernet*.

Sedangkan dari terminal Kampung Rambutan sebaiknya tanya – tanya dulu harganya berapa sampai terminal Guntur Garut, baru cincau naik busnya.

Jangan asal naik, yang ternyata disuruh bayar bermilyar – milyar. *miris*

Setelah dapat bus dan duduk manis didalamnya, coba cek apakah persediaan cemilan selama perjalanan masih ada, kalau belum bolehlah berbagi rejeki dengan membeli jajanan yang dijual pedagang kaki lima yang hobi bersliweran keluar masuk bus.

Saran saya buruan beli, karena setelah bus masuk jalan tol, enggak akan ada lagi pedagang yang sliweran keluar masuk.

Tapi kalau cuma berhenti di tol sih sering.

Unik memang, meskipun sudah ada larangan “Dilarang menaikkan dan menurunkan penumpang di jalan tol“, supir bus bakal cuek aja, gak peduli.

Mungkin sudah prinsip mereka kalau peraturan ada untuk dilanggar. Jangan ditiru ya teman – teman :)

Pedangang asongan menawarkannya sebagai gehu. Mirip seperti tahu isi, cuma yang ini alotnya minta ampun :|
Pedangang asongan menawarkannya sebagai gehu. Mirip seperti tahu isi, cuma yang ini alotnya minta ampun :|

Sebisa mungkin berangkat dari Jakarta sebelum dini hari lebih enak lagi kalau sore hari.

Paling enggak sekitar jam 19.00 udah duduk manis kayak artis didalam bus.

Jadi nanti bisa bobok manis di sepanjang perjalan menuju Garut. Kalau saya kemarin cuma bisa bobok manis sampai keluar pintu tol Padalarang saja.

Kenapa? Sudah pasti karena keluar jalan tol jadi banyak pedagang sliweran naik turun bus sambil meneriakkan dagangannya.

Kebetulan juga saya tertarik dengan teriakan pedagang yang meneriakkan “gehu gehu gehu” yang setelah dibeli teman saya ternyata mirip Tahu Sumedang plus tepung yang alotnya minta ampun!

Rada nyeselt sih ==” *tapi paling enggak penasarannya ilang deh* Selanjutnya, jika perjalanan lancar paling enggak akan sampai ke Terminal Guntur sekitar Jam 1 dini hari.

Setelah sampai terminal Garut bisa coba makan dulu, atau jika ingin ke toilet ada satu toilet umum di depan pintu masuk Terminal Guntur, Garut.

Pintu masuk menuju Gunung Papandayan masih lumayan jauh dari Terminal Guntur, perlu naik angkot lagi sekitar 45-1 jam perjalanan tergantung keberuntungan mendapatkan supir angkot yang selow, atau supir angkot ex-driver formula one.

Biasanya harus nunggu sampai 15 orang, atau men-charter angkot jika sudah enggak ada pilihan lagi.

Beruntung saya kemarin ada barengan, selain saya dan kedua orang teman saya, ada 5 orang lagi yang juga datang dari Jakarta.

Dan kami sepakat untuk mencharter si angkot hingga pertigaan ke arah Gunung Papandayan.

Angkot yang mengantarkan dari Terminal Guntur sampai pertigaan menuju Gunung Papandayan
Angkot yang mengantarkan dari Terminal Guntur sampai pertigaan menuju Gunung Papandayan

Tahukah Kamu?

  • Terminal lebak bulus memang lebih dekat, tetapi transportasi yang nyaman dan reliable, cuma untuk saya yang kerja di daerah semanggi, kampung rambutan adalah pilihan, karena ada bus ac yang menuju kampung rambutan. Lagipula tarif bus menuju garut dari jakarta sama saja, yaitu Rp. 42.000 ( Data bulan september tahun 2013 )
  • Asiknya naik bus umum adalah bisa mencoba makanan yang aneh – aneh. Persiapkan saja perut untuk menerimanya, seperti kemarin saya sempat mencoba makanan yang namanya “gehu” *semoga tidak salah denger*
  • Pastikan membawa perbekalan yang cukup, entah makanan dan minuman untuk di bus atau untuk di Gunung Papandayan nantinya. Jangan seperti saya kemarin yang beli minuman di terminal Kampung Rambutan, harga minuman pun jadi dua kali lipat dari harga normal. Kalaupun lupa, mending beli ke pedagang asongan yang harganya masih lebih wajar. Di dekat terminal Guntur, Garut juga ada satu mini market, sayangnya tidak buka 24 jam.
  • Dalam kondisi normal, jarak tempuh Jakarta Garut dengan bus adalah 5-6 Jam.
  • Tarif normal angkot dari Terminal Guntur, Garut sampai pertigaan menuju Gunung Papandayan adalah Rp. 7000 – 8000 rupiah pada siang hari, dan Rp.15000 pada malam hari (dengan catatan ada 15 orang penumpang baru berangkat). Meskipun begitu coba nego saja ketika jumlah orang kurang dari 15 atau tidak mau menungu terlalu lama. Kemarin untuk 8 orang, saya berhasil mendapatkan harga Rp. 20.000 per/orang. (Data bulan september tahun 2013).

Pengalaman Pertama Seorang Pemula Mendaki Gunung Papandayan

Sekitar jam 2 dini hari saya baru sampai ke pertigaan jalan yang menuju Gunung Papandayan. Dan, inilah resiko yang didapat ketika berangkat sore hari dari Jakarta.

Cuma enaknya sampai dini hari, kita bisa mulai naik sekitar jam 5:30, dimana matahari masih di peraduan dan cuaca bisa dibilang masih adem.

Jarak dari pertigaan hingga menuju post awal pendakian masih lumayan jauh.

Di peta saya menunjukkan jarak masih sekitar 9 km lagi, dengan jalan menanjak dan sedikit berkelok – kelok.

Jarak yang masih lumayan jauh dari pertigaan jalan cisurupan menuju pos awal pendakian Gunung Papandayan.
Jarak yang masih lumayan jauh dari pertigaan jalan cisurupan menuju pos awal pendakian Gunung Papandayan.

Awalnya saya memutuskan untuk berjalan kaki saja, anggapan saya dengan jarak tempuh yang hanya 9 km, paling tidak bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 1,5 – 2 jam perjalanan.

Namun hal itu urung saya lakukan, karena pertimbangan ada teman – teman baru yang terbantu jika menyewa mobil bak terbuka sampai pos awal pendakian.

Memang ada dua pilihan untuk menuju pos pendakian, salah satunya adalah jalan kaki, dan yang lainnya adalah menyewa mobil bak terbuka yang langsung mengantarkan hingga pos.

Sebenarnya jalur menuju pos hanyalah jalan beraspal yang rusak, yang menurut saya malah bikin pantat aduhai sakitnya jika menuju pos dengan duduk santai di mobil bak terbuka.

Enaknya, dengan tiba lebih pagi di pos pendakian, nantinya bisa beristirahat terlebih dahulu sambil ngopi – ngopi ria.

Waktu tempuh hingga pos pendakian kira – kira 30 menit, enggak lebih. Kecuali mobil yang kalian tumpangi ban-nya  bocor di tengah jalan :p

Untuk sebuah pos awal pendakian, fasilitas yang ada di pos pendakian awal Gunung Papandayan ini termasuk mewah dan lengkap.

Ada beberapa warung yang siap memanjakan perut, ada juga listrik dari genset yang siap memberi makan gadget peliharaan, sehingga tetap bisa bernarsis ria nantinya ketika mendaki (dengan catatan, harus beli makanan di warung, dan numpang charging gadget).

Di pos pendakian ada juga satu kamar mandi yang bisa digunakan untuk keperluan bersih – bersih diri. Entah untuk cuci muka atau mandi, terserah!

Saya sih enggak mau, mengingat suhu udara saja sudah bisa bikin menggigil, apalagi mandi dengan air sedingin es!

Kalian mau? Saya sih cuci muka aja sudah cukup :D

Jam 5:30, Mari Mendaki

Untuk yang sudah sering mendaki, rute menuju pos tempat kemping yaitu Pondok Salada masuk ke dalam kategori ringan, sehingga enggak terlalu berat untuk pemula seperti saya.

Pastikan saja membawa alat penerangan yang memadai jika memulai pendakian di pagi buta.

Berdasarkan pengalaman saya kemarin, ber-navigasi malam hari memang lumayan sulit.

Beberapa kali saya harus melihat peta di gadget yang ternyata juga tidak banyak membantu.

Tipsnya, lihatlah dengan seksama sisa – sisa jejak ditanah, hal itu akan lebih membantu.

Trek awal Gunung Papandayan adalah kawah belerang yang masih aktif, jadi akan tercium bau belerang yang lumayan tajam sepanjang jalur awal.

Selanjutnya trek akan melewati sungai kecil, yang penuh dengan batu. Batu tadi bisa digunakan sebagai pijakan jika tidak ingin kaki basah dah kedinginan.

Trek terakhir yang ujungnya adalah Pondok Salada, lumayan menanjak dengan pijakan batu kerikil dan pasir yang licin.

Berhati hatilah disini, karena salah pijakan bisa saja jatuh dan tergelincir.

Tanpa tersesat, saya sampai pondok salada pada pukul 07:00 atau dengan 2,5 jam jalan kaki.

Pondok Salada, Mari Mendirikan Tenda

Saya sampai di Pondok Salada terlalu pagi, mau langsung naik ke puncak pun masih terlalu kepayahan.

Jadinya mendirikan tenda adalah pilihan bagus, dan ketika saya datang sudah ada beberapa tenda yang berdiri di tempat ini.

Entah dari kapan mereka mendirikan tendanya.

Dari pengalaman teman saya yang sudah beberapa kali mendaki gunung, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika mendirikan tenda, beberapa adalah :

  1. Usahakan cari tempat yang datar, agar mudah untuk mendirikan tenda.
  2. Cari tempat yang terlindung, karena jika ada badai atau angin kencang tenda akan tetap kokoh berdiri. hembusan angin kencang akan tertahan pelindung seperti bebatuan atau pepohonan.
  3. Lebih baik tenda didirikan dibawah pohon, jadi enggak terpapar langsung panas matahari :D *adem*

Tenda yang saya bawa adalah tenda dome yang bisa dipasang dalam beberapa puluh menit saja.

Jadinya saya bisa segera sarapan dan kemudian tidur~~ Jujur saja, saya kurang tidur sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Garut.

Lebih baik tidur dulu, dan siangnya baru naik sampai ke Tegal Alun dan berburu foto di “Dead Forest”.

Eh? Apa itu hutan mati?

Foto Pengalaman Mendaki Gunung Papandayan Untuk Pemula

Udara segar adalah obat paling manjur dari asap polusi ibu kota, Jakarta.

Beruntung daerah Jawa Barat yang jaraknya hanya beberapa jam dari Jakarta punya banyak pegunungan.

Beberapa diantaranya seperti Gunung Papandayan lumayan mudah untuk dinaiki oleh seorang pendaki pemula seperti saya.

Nah, sebelum saya bercerita banyak tentang gunung yang berada di Garut ini, mungkin sedikit teaser dulu boleh dong! enjoy!

Di belakang saya adalah kawah belerang yang harus di lewati untuk menuju tempat kemping di Gunung Papandayan. Ini pagi hari jam 5-an lho! brrr....
Di belakang saya adalah kawah belerang yang harus di lewati untuk menuju tempat kemping di Gunung Papandayan. Ini pagi hari jam 5-an lho! brrr….
Mau tau capeknya naik lewat sisi bukit berbatu demi padang edelweis yang cantik?
Mau tau capeknya naik lewat sisi bukit berbatu demi padang edelweis yang cantik?
Padang edelweis yang ini nih maksud saya. weittss... ini belom ada apa - apa nya, ada yang lebih keren dari ini :)
Padang edelweis yang ini nih maksud saya. weittss… ini belom ada apa – apa nya, ada yang lebih keren dari ini :)
Senangnya bisa sampe tegal alun! Ada padang edelweisnya juga disini, dan udaranya seger banget!
Senangnya bisa sampe tegal alun! Ada padang edelweisnya juga disini, dan udaranya seger banget!
Bertemu teman - teman pendaki yang lain :) *asek - asek, nambah temen*
Bertemu teman – teman pendaki yang lain :) *asek – asek, nambah temen*
Enggak ketinggalan merasakan sensasi turun lewat tanjakan mamang! *naiknya belom, next time yah*
Enggak ketinggalan merasakan sensasi turun lewat tanjakan mamang! *naiknya belom, next time yah*
Nah, kalau ini dead forest Gunung Papandayan yang kesannya mistis banget *hiiii*
Nah, kalau ini dead forest Gunung Papandayan yang kesannya mistis banget *hiiii*
Sunrise di Gunung Papandayan enggak ketinggalan juga dong yah.
Sunrise di Gunung Papandayan enggak ketinggalan juga dong yah.
Siapa bilang jalan - jalan cuma mengotori alam? Pakai prinsip eco traveling, sesekali juga sambil bersih - bersih, bawa turun sampah yang ada :)
Siapa bilang jalan – jalan cuma mengotori alam? Pakai prinsip eco traveling, sesekali juga sambil bersih – bersih, bawa turun sampah yang ada :)

Mari Mendaki Puncak Tertinggi Gunung Papandayan, Tegal Alun

Saya sampai di Pondok Salada pada pagi hari, setelah memulai pendakian dari pos awal pada jam 05.30 pagi.

Pondok salada bisa dibilang sebuah basecamp untuk mendirikan tenda sebelum naik ke puncak yang lebih tinggi dan menikmati suasana Hutan Mati Gunung Papandayan

Pondok Salada terlihat dari ketinggian.
Pondok Salada terlihat dari ketinggian.

Konsekuensi berangkat sore hari di akhir minggu dari Jakarta adalah kurang tidur di sepanjang perjalanan yang selama kurang lebih 6 jam menuju Garut.

Saya sendiri cuma bisa tidur sebentar di sepanjang jalan Tol Cipularang.

Selebihnya saya selalu terjaga, bahkan tidak tidur sama sekali hingga Pondok Salada, Gunung Papandayan.

Karena saya tidak mau naik ke Tegal Alun ketika matahari sedang menyengat, langkah pertama yang saya dan teman -teman lakukan ketika sampai di Pondok Salada adalah cepat – cepat mendirikan tenda, sarapan pagi dan kemudian tidur~~ *zzzz… jauh – jauh kegunung malah tidur hahaaa*

Pondok Salada yang menjadi ramai menjelang siang
Pondok Salada yang menjadi ramai menjelang siang

Sesuai rencana, saya beristirahat hingga matahari sudah sedikit turun, dan tidak terlalu panas lagi, sehingga lebih mudah mencapai tegal alun yang hanya 1-2 jam trekking dari tempat saya mendirikan tenda.

Agak terkejut juga ketika terbangun ternyata Pondok Salada menjadi ramai.

Rasanya jadi lebih mirip persami (red: perkemahan sabtu – minggu) kalau Pondok Salada ramai seperti ini ^^.

Saya enggak terlalu memusingkan hal itu, yang ada di pikiran saya adalah, saya ingin secepatnya naik ke Tegal Alun.

Saya enggak ingin membuang waktu karena sudah Jam 2 siang.

Naik terlalu sore, kemungkinan besar saya bisa turun terlalu malam, dan itu bukan hal yang bagus untuk pendaki pemula seperti saya.

Ber-navigasi di malam hari lebih sulit dari pada siang hari, apalagi kalau perlengkapannya kurang.

Saya tidak ingin naik membawa beban yang berat ketika naik, karena itu bekal utama saya hanya tripod, kamera dan dua air mineral 1,5 liter saja, yang lain saya tinggal didalam tenda.

Setelah semua siap, saya dan kedua orang teman saya memulai pendakian dengan target sampai Tegal Alun atau puncak Gunung Papandayan jika sempat.

Yah, ternyata semudah – mudahnya naik gunung, ternyata masih enggak terlalu mudah.

Selain itu, karena ini kunjungan kami yang pertama ke Gunung Papandayan, jadinya lumayan ribet terlebih dahulu sebelum menemukan jalur yang benar untuk naik sampai ke Tegal Alun.

Bertanya kepada sesama pendaki yang lain pun kurang begitu berguna sih sebenarnya, karena rata – rata yang naik ke Papandayan adalah pendaki pemula juga.

Istilahnya, orang bingung tanya ke sesama orang bingung hahaaa. Memang kata teteh Ajeng seorang ranger yang kemudian saya temui di Tegal Alun, Gunung Papandayan adalah gunung yang bagus untuk latihan mendaki para pemula.

Karena itu banyak pendaki pemula yang datang kesini, entah latiha orientasi atau sekedar kemping.

Nah, karena itu sebagai seorang pendaki pemula juga, saya mau mencoba berbagi gambaran peta lokasi Pondok Salada dan sekitarnya untuk mempermudah pengenalan lokasi.

Daripada kebanyakan bingung seperti saya. Yah, meskipun peta ini mungkin sangat sederhana sekali, semoga bisa memberikan sedikit gambaran, dan enggak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menebak jalur naik ke Tegal Alun juga Hutan Mati Gunung Papandayan. *Semoga tidak bingung  :p*

Peta lokasi Pondok Salada dan letak jalur naik ke Tegal Alun.
Peta lokasi Pondok Salada dan letak jalur naik ke Tegal Alun.

Sedikit penjelasan tentang peta ini, ternyata ada dua jalur pendakian menuju Tegal Alun, pertama lewat Tanjakan Mamang (Mamang dalam bahasa sunda artinya setan) yang harus ke Hutan Mati terlebih dahulu, baru kemudian naik sampai Tegal Alun.

Kedua, lewat tanjakan batu yang akhirnya saya sebut tanjakan ekstrim karena melewati jalur penuh bebatuan.

Kedua jalur sama bikin capeknya, sama parah nanjaknya, bedanya kalau lewat tanjakan batu, sebelum sampai ke Tegal Alun akan melewati tengah tengah padang edelweis yang asik buat bernarsis ria :D.

Karena itu saya lebih suka lewat tanjakan batu, sekalian buat melatih ketahanan stamina.

Hampir Tersesat Ketika Menuju Tegal Alun…

Puncak sebenarnya adalah target kami, sebelum Tegal Alun, karena itu saya dan kedua orang teman saya kurang yakin ketika menemui jalur menurun setelah tanjakan batu.

Karena itu kami sempat memutar – mutar untuk mencari jalur yang benar menuju puncak Gunung Papandayan, yang seharusnya adalah jalur naik .

Setelah beberapa lama ternyata tetap saja enggak ketemu jalur naik, bahkan setelah bertemu dengan dua orang pendaki lain yang ternyata juga mencari puncak.

Berputar – putar berapa kali pun percuma, altimeter saya hanya menunjukkan lokasi tertinggi 2602 mdpl, setelah itu hanya ada jalur menurun.

Karena waktu semakin sore, jadilah kami mengambil jalur menurun yang ternyata adalah jalur menuju Tegal Alun yang terdapat banyak sekali tumbuhan edelweis.

Akhirnya Tegal Alun, Bertemu Ranger , Dan Puncak Yang Masih Jauh

Enggak mau berputar terlalu lama di tengah hutan, pendakian terpaksa dilanjutkan melewati jalur yang cenderung menurun tadi, dan diujung jalur ternyata adalah dataran luas yang terdapat lebih banyak edelweis, namanya dikenal dengan Tegal Alun.

Di sana saya bertemu dengan ranger Gunung Papandayan yang sedang berkeliling untuk memberitau para pendaki agar segera turun ke Pondok Salada, karena hari sudah semakin sore.

Gara – gara bertemu mereka juga saya jadi tahu kalau puncak Papandayan yang sebenarnya masih lumayan jauh, kira – kira masih perlu memutari satu bukit lagi. *langsung lemes*

Meskipun Tegal Alun lebih luas daripada Pondok Salada, tempatnya cenderung lebih sepi atau bahkan enggak ada satu tenda-pun berdiri disini.

Kata teteh Ajeng salah seorang ranger yang saya temui, memang mendirikan tenda/kemping di Tegal Alun tidak diperbolehkan karena merupakan daerah konservasi dan agar tidak menjadi kotor seperti Pondok Salada.

Memang sih, saya juga melihat sendiri bagaimana kondisi Pondok Salada tempat saya mendirikan tenda.

Bisa dibilang sampah banyak bertebaran dimana – mana, karena banyak yang membuangnya sembarangan. Padahal seharusnya sampah harus dibawa turun sendiri lho. *wajib*

Pun begitu, tidak bisa mendirikan tenda di Tegal Alun bukan berarti enggak bisa menikmatinya secara maksimal, mau lari – lari, foto – foto narsis atau sekedar menatap alam yang hijau juga boleh.

Apalagi seperti saya yang sekarang tinggal di Jakarta, datang ke Tegal Alun itu bagaikan melihat oasis di Padang Pasir, sesuatu yang langka!

Ada juga banyak bunga edelweis yang bisa dinikmati di tegal alun, tapi jangan di petik yah?

Saya pun kemarin juga cuma membawa pulang foto – fotonya aja. Selalu ingat yang satu ini “Take nothing but picture”.

Karena sudah lumayan sore, saya juga enggak berlama – lama di Tegal Alun, saya turun bersama dengan ranger yang saya temui tadi lewat Tanjakan Mamang.

Saya penasaran dengan jalur Tanjakan Mamang yang diceritakan oleh mereka, dan ternyata jalur ini memang… wheew~~ turun aja sampai ngesot, apalagi kalau naiknya ya?

Tanjakan Mamang juga bisa digunakan untuk naik ke Tegal Alun, ujung bawah tanjakan ini sendiri adalah Hutan mati Papandayan.

Serem juga yak kalau digabungin, Tanjakan Mamang (red:tanjakan setan) yang berujung di Hutan Mati (Hutan kematian).

Tapi tenang saja, aslinya enggak serem – serem amat, yang ada malah bikin saya terkesima, saking cakepnya pemandangan sepanjang jalur yang saya lewati menuju basecamp Pondok Salada.

[ Baca Juga: Mengenal Pohon Cantigi Dari Gunung Papandayan ]

Malam Terakhir Yang Kacau, Berburu Sunrise Di Hutan Mati Gunung Papandayan

Dari Pondok Salada saya naik melalui Tanjakan Batu sampai ke Tegal Alun, yang kemudian saya bertemu dengan ranger Gunung Papandayan.

Dari pertemuan itu saya mendapat banyak informasi tentang sekitar papandayan, juga mendapatkan pengetahuan baru tentang cantigi yang ternyata bisa dimakan terutama untuk kondisi survival. Hingga akhirnya, saya kembali ke basecamp pondok salada untuk menikmati malam dingin Papandayan.

Rencananya, saya akan berburu sunrise di hutan Mati esok hari.

Saya turun dari Tegal Alun melewati tanjakan mamang yang ujungnya adalah hutan mati ketika hari hampir gelap.

Ya ini adalah malam pertama saya berkencan dengan dinginnya Gunung Papandayan.

Saya memang sudah beberapa kali naik gunung yang suhu malam harinya bisa turun hingga beberapa derajat, saya juga pernah naik gunung es ketika traveling jalan jalan ke jepang.

Jadi seharusnya suhu di papandayan tidak akan terlalu menyiksa. Dua jaket tebal yang saya pakai bersamaan dan sarung yang selalu melingkar di leher adalah senjata saya selama disini.

Sarung yang melingkar di leher saya ikat semakit erat, air di sumber mata air pun semakin dingin seperti es, tetapi saya enggak menghiraukan karena harus mengambil air untuk masak.

Secepatnya saya harus membuat diam perut yang terus menerus berteriak minta diisi makananan ini.

Tenda yang saya pakai di Papandayan lumayan ngejreng ya ^^
Tenda yang saya pakai di Papandayan lumayan ngejreng ya ^^

Perbekalan hanya tinggal beberapa bungkus mie instant yang hanya cukup hingga sarapan esok pagi, jadi mau tidak mau harus berbagi rata dengan kedua teman saya.

Seperti pagi hari, memasak dilakukan di depan tenda dengan kompor yang telah dibawa, dan disinilah tragedi yang tidak diharapkan terjadi.

Karena memasak didalam kegelapan, saya tidak sengaja menumpahkan mie instant yang sudah setengah matang dimasak.

“Baguss!! mie-nya tumpah~~!” Ucap saya dengan sedikit berteriak.

Pandangan saya tertunduk ke bawah, melihat ceceran mie instant yang telah tumpah tadi, sampil memikirkan perut yang terus berteriak.

“Ah.. sudahlah, diambil lagi yang belum kotor, dan lanjut dimasak aja, kan belum lima menit” Kemudian saya memunguti mie yang telah tumpah tadi di bagian atasnya.

Enggak mau rugi sih, soalnya sisa makanan hanya untuk sarapan esok pagi saja.

Pilihannya hanya memasak lagi mie yang telah tumpah, atau menahan lapar sampai esok pagi.

Saya sih lebih milih pilihan yang pertama, anggap saja survival lah!

Perut kelaparan, mie tumpah ke tanah pun jadi ;p
Perut kelaparan, mie tumpah ke tanah pun jadi ;p

Setelah urusan perut selesai dan banyak – banyak berdoa agar tidak sakit perut, saya segera menyiapkan kamera mirrorless kesanyangan saya untuk sesi pemotretan malam.

Target saya adalah mencoba mengambil foto galaksi bimasakti yang seharusnya lebih mudah di ambil ditengah gunung yang gelap.

Baru setelah itu saya akan tidur karen esok akan berburu sunrise di hutan mati Papandayan.

Sayang perkiraan saya salah, saking ramainya Pondok Salada, polusi cahaya dari api unggun dan senter cukup mengganggu.

Hanya beberapa jepret foto saja saya ambil, dan hasilnya kurang begitu memuaskan.

Apalagi kabur sudah mulai turun, dan langit secara perlahan ditutup.

Karena enggak ingin pulang dengan tangan kosong, jadinya saya malah mengambil foto suasana Pondok Salada ketika malam hari.

Ini niatnya kepengen foto bimasakti, cuma kurang puas dengan hasilnya. Terlalu banyak polusi cahaya di Pondok Salada :(
Ini niatnya kepengen foto bimasakti, cuma kurang puas dengan hasilnya. Terlalu banyak polusi cahaya di Pondok Salada :(
Kira - kira kayak gini nih polusi cahayanya. Mungkin kalau di tegal alun bisa lebih sedikit polusi cahayanya, pasti gelap banget. Ya sudahlah, berburu foto sunrise di hutan mati Papandayan saja besok pagi.
Kira – kira kayak gini nih polusi cahayanya. Mungkin kalau di tegal alun bisa lebih sedikit polusi cahayanya, pasti gelap banget. Ya sudahlah, berburu foto sunrise di hutan mati Papandayan saja besok pagi.

Menggigil Demi Sunrise Di Hutan Mati Papandayan….

Entah jam berapa itu, yang jelas saya terbangun karena kaki rasanya semaking membeku.

Sleeping bag pun ternyata tidak terlalu ampuh untuk menghalau hawa dingin pagi hari Gunung Papandayan.

Padahal sarung yang tadinya saya pakai di leher sudah saya gunakan untuk membalut kaki, dengan harapan kaki tidak kedinginan.

Soalnya bagian telapak kaki saya paling enggak kuat menahan hawa dingin, meskipun ternyata tidak banyak berguna.

Menggigil kedinginan ternyata ada manfaatnya juga sih, saya jadi ingat tentang rencana berburu matahari terbit dari Hutan Mati.

Meskipun malas masih melekat, saya pun bergegas mencuci muka dengan air yang dinginnya hampir sama dengan suhu es yang membeku.

Mencuci muka dengan air dingin memang selalu berhasil untuk mengusir rasa kantuk yang melekat.

Jarak dari Pondok Salada ke Hutan Mati masih lumayan jauh, dengan jalan santai paling enggak memerlukan waktu sekitar 30 menit, kalau lari dengan penuh semangat seperti saya, ya 15 menitan lah.

Karena saya agak terlambat bangun, jadi lari mengejar sunrise di hutan mati adalah satu – satunya pilihan.

Capek banget rasanya, tapi semua terbayarkan begitu menyaksikan pemandangan yang tidak ada duanya.

Pemandangan pagi hari Kota Garut di kejauhan, ditambah hangatnya matahari terbit. Nah, siapa yang mau ke Papandayan? Saya masih mau lagi lho :D

Saya rela menggigil demi pemandangan kece sunrise di hutan mati seperti ini ^^
Saya rela menggigil demi pemandangan kece sunrise di hutan mati seperti ini ^^
Juga yang kayak gini >,<
Juga yang kayak gini >,<

Bersih – Bersih Area Camping Di Pondok Salada Sebelum Pulang Ke Ibukota

Perjalanan hiking ke Gunung Papandayan yang cuma sabtu – minggu memberikan banyak pengalaman menyenangkan, mulai dari udara segar sampai sunrise cantik.

Saya enggak bisa membalas apa apa kepada papandayan kecuali membersihkan area sekitar tenda dan membawa turun kembali sampahnya.

Iya, saya bebersih Pondok Salada sebelum turun ke kota.

Saya pernah menulis tentang eco traveling, juga memaparkan bagaimana film 5 cm yang kurang ada bagian edukasinya.

Tentunya saya enggak ingin perjalanan saya hiking ke Gunung Papandayan ini cuma membuat banyak orang datang, kemping terus enggak berbuat apa – apa selain meninggalkan sampah.

Sampah yang kekumpul lumayan banyak, meskipun cuma bersihin area sekitar tenda saya di Pondok Salada.
Sampah yang kekumpul lumayan banyak, meskipun cuma bersihin area sekitar tenda saya di Pondok Salada.

Contoh sederhananya saja, basecamp Pondok Salada yang lumayan banyak sampahnya.

Kalau terus menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin kalau Gunung Papandayan akan penuh sampah.

Nah, seharusnya sebagai pecinta alam enggak cuma harus datang ke alam, foto – foto terus pulang.

Harus ditambahin satu lagi, yaitu bersih – bersih dulu baru pulang seperti saya kemarin.

Bukan bermaksud pamer atau sok, tetapi edukasi tentang kebersihan ketika traveling ke alam memang perlu sih.

Lagian saya orangnya enggak mau cuma NATO  (No Action Tweet Only) , atau sekedar corat – coret di blog traveling catperku tanpa melakukan aksi.

Salah satu figur favorit saya pernah bilang, kalau enggak bisa diedukasi dengan tulisan dan kata – kata, maka harus di edukasi dengan teladan :D. *kalau dianggap pencitraan boleh juga deh*. 

Enggak muluk – muluk mau bersihin semua area pondok salada, saya kemarin memulai dari bersih – bersih sampah yang berceceran di sekitar tenda saya.

Meskipun begitu sampah yang saya dapat lumayan banyak, hampir satu tas plastik besar terisi penuh.

Enggak kebayang deh berapa banyak jika yang dibersihkan satu area Pondok Salada?

Biasakan bawa tas kresek buat naruh sampah ketika traveling, kadang tempat sampah sulit ditemuin ketika di jalan, apalagi ditengah gunung.
Biasakan bawa tas kresek buat naruh sampah ketika traveling, kadang tempat sampah sulit ditemuin ketika di jalan, apalagi ditengah gunung.

Kata ranger papandayan, memang Pondok Salada adalah pekerjaan rumah bagi tiap pecinta alam yang datang ke Papandayan, jarang ada pendaki yang datang dengan niat bersih – bersih.

Karena itu  juga kemping di Tegal Alun jadi dilarang, tujuannya agar Tegal Alun enggak menjadi kotor seperti Pondok Salada.

Nah lho? Padahal yang namanya Tegal Alun cakep banget ~~

Enggak cuma bersih – bersih sekitar tenda, saya juga memunguti sampah yang saya temui sepanjang perjalanan turun menuju pos pendakian awal.

Nah, kalau saya bisa, kalian yang ngaku pecinta alam, sering naik gunung bawa ransel gede pasti juga bisa dong?

Ayo mulai mencintai alam enggak cuma menikmatinya :)

Supaya enggak ribet, sisa botor mineral bisa di ikat di bagian belakang ransel seperti ini. Kata teman saya, membawa turun dari gunung akan lebih mudah.
Supaya enggak ribet, sisa botor mineral bisa di ikat di bagian belakang ransel seperti ini. Kata teman saya, membawa turun dari gunung akan lebih mudah.

Foto Wisata Gunung Papandayan

Karena suhu yang begitu dingin diluar, saya hampir saja melewatkan pemandangan cantik pagi hari Gunung Papandayan.

Untungnya bayangan pemandangan matahari terbit dari hutan mati di angan – angan, membuat saya bersemangat kembali untuk mengabadikannya.

Untuk itu saya perlu lari – lari kecil dengan menembus dinginnya udara gunung papandayan, dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dari Pondok Salada.

Nafas ngos – ngosan, dan badan yang menggigil kedinginan saya hiraukan. Saya enggak menyesal bisa menyaksikan pemandangan pagi hari seperti ini.

Nb : Semua foto saya ambil dengan kamera Sony Nex F3 berlensa standard 18-55 mm.

Pemandangan Kota Garut yang berada di tengah - tengah rantai pegunungan. Disekitarnya ada Gunung Guntur, Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan tempat saya mengambil foto ini.
Pemandangan Kota Garut yang berada di tengah – tengah rantai pegunungan. Disekitarnya ada Gunung Guntur, Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan tempat saya mengambil foto ini.
Salah satu kawah aktif gunung papandayan yang mengeluarkan asap bercampur bau belerang yang pekat. Asap ini bahkan bisa tercium pada pagi buta yang seharusnya udara masih begitu segar.
Salah satu kawah aktif gunung papandayan yang mengeluarkan asap bercampur bau belerang yang pekat. Asap ini bahkan bisa tercium pada pagi buta yang seharusnya udara masih begitu segar.
Saya menyebutnya "Full Moon and The Dead Forest", beginilah perpaduan suasana menjelang pagi dan bulan yang masih bersinar di langit.
Saya menyebutnya “Full Moon and The Dead Forest”, beginilah perpaduan suasana menjelang pagi dan bulan yang masih bersinar di langit.
Hutan mati gunung papandayan menjelang matahari terbit suasananya begitu sepi. Rasanya seperti tidak ada lagi makhluk hidup selain saya disini.
Hutan mati gunung papandayan menjelang matahari terbit suasananya begitu sepi. Rasanya seperti tidak ada lagi makhluk hidup selain saya disini.
Masa - masa golden hour yang saya ambil dari area hutan mati Gunung Papandayan. bagaimana menurut kalian? Harga yang pas untuk membayar usaha saya lari sampai ngos - ngosan dari Pondok Salada.
Masa – masa golden hour yang saya ambil dari area hutan mati Gunung Papandayan. bagaimana menurut kalian? Harga yang pas untuk membayar usaha saya lari sampai ngos – ngosan dari Pondok Salada.
Pagi hari di hutan mati gunung papandayan juga enggak kalah cantik. Ditambah lagi dengan pemandangan bulan yang belum hilang dari langit.
Pagi hari di hutan mati gunung papandayan juga enggak kalah cantik. Ditambah lagi dengan pemandangan bulan yang belum hilang dari langit.
Di kejauhan, kabut tipis menyelimuti langit Kota Garut. Bisa kebayang bagaimana sejuknya kota itu?
Di kejauhan, kabut tipis menyelimuti langit Kota Garut. Bisa kebayang bagaimana sejuknya kota itu?
Menjelang siang, kabut secara perlahan menghilang, mulai nampak lansekap Kota Garut yang cantik.
Menjelang siang, kabut secara perlahan menghilang, mulai nampak lansekap Kota Garut yang cantik.
Pegunungan sepertinya adalah barrier alami yang mengelilingi Kota Garut. Tidak banyak kota di indonesia yang memiliki lansekap seperti ini.
Pegunungan sepertinya adalah barrier alami yang mengelilingi Kota Garut. Tidak banyak kota di indonesia yang memiliki lansekap seperti ini.
Yang sudah mati dan yang masih hijau. Hutan mati terbentuk akibat sisa letusan Gunung Papandayan yang menghanguskan sebagian vegetasi. Yak, seperti inilah pemandangan yang kontras sisi bukit yang begitu hijau, dan hutan mati yang gersang.
Yang sudah mati dan yang masih hijau. Hutan mati terbentuk akibat sisa letusan Gunung Papandayan yang menghanguskan sebagian vegetasi. Yak, seperti inilah pemandangan yang kontras sisi bukit yang begitu hijau, dan hutan mati yang gersang.
Ketika pagi mulai menghilang, dan hari menjelang siang, tinggallah siluet cantik dari hutan mati Gunung Papandayan
Ketika pagi mulai menghilang, dan hari menjelang siang, tinggallah siluet cantik dari hutan mati Gunung Papandayan

Berani Bermimpi, Berani Traveling, Berani Bertualang!
Ikuti travel blog catperku di social media : Instagram @catperku, Twitter @catperku & like Facebook catperku. Travel blog catperku juga menerima dukungan dengan donasi, dan atau ajakan kerjasama.


Rijal Fahmi Mohamadi

Rijal Fahmi Mohamadi

Fahmi adalah seorang Digital Marketer, Travel Enthusiast, Geek Travel Blogger dari Indonesia penulis catperku.com, Penulis Buku perjalanan Traveling The Traveler Notes Bali The Island Of Beauty dan The Traveler Notes Bersenang-Senang di Bali, Bertualang di Lombok. Pernah disebutkan, mentioned in Lonely Planet Indonesia 2019 as Best in Blogs. Mau menyapa saya? Kunjungi media sosial pribadi saya, atau hubungi lewat email [email protected] jika Anda ingin mengajak saya bekerja sama dan berkolaborasi.
https://catperku.com


Comments

  1. Matius Teguh Nugroho says:

    Aaaaaaaaakkk foto-fotonya keceeeeee. Lima tahun di Bandung gue belum pernah ke Gunung Papandayan :3

    1. Rijal Fahmi Mohamadi says:

      Makasiii, buruan kesanaaa, jangan lupa sambil bersih – bersih pondok salada :D *udah mulai banyak sampah*

  2. Kereenn semua gambarnya… Paling suka full moon and dead forest nya :-)
    Naik Papandayan butuh ketrampilan khusus nggak bro? Amatiran naik bisakah? hehe

    1. Rijal Fahmi Mohamadi says:

      enggak sih, malah Gunung Papandayan ini pas banget buat pemula yang mau ngenal gunung :) *sekalian bersih – bersih gunung* :D paling tahan jalan kaki selow 2-3 jam aja :D

  3. pemandangannya kyk lukisan…cantik..keren deh..

    aahh..kyknyo klo nyasar k pulau jawa, mmpir k gunung ini deh..:D
    porterin ya mas..haha *kidding*

    1. Rijal Fahmi Mohamadi says:

      hehee, aslinya lebih cantik :D coba dikunjungi deh :D

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *