Mengenal Suku Kajang Desa Ammatoa Yang Menolak Teknologi

Selepas mengunjungi Tanjung Bira, tim Terios 7 Wonders masih mempunyai satu destinasi unik tanah celebes yang perlu dikunjungi lagi. Yaitu mengunjungi desa tempat tinggal Suku Kajang Ammatoa yang menolak teknologi dan modernisasi.

Kali ini destinasi yang akan dikunjungi tim adalah sebuah suku yang ada di Sulawesi, dimana kesehariannya dijalani dengan tanpa teknologi.

Jangankan mobil, smartphone saja mereka tidak punya lho! TV apalagi!

Adalah Suku Kajang yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia. Suku ini juga dikenal sebagai masyarakat adat Ammatoa.

Mereka menetap dan tinggal di Tana Toa, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Mereka memiliki desa dengan area seluas kurang lebih 3000 hektar, dengan hutan lebat seluas 600 hektar.

Didalamnya terdapat sekitar 300 kepala keluarga, dengan jumlah penduduknya kira – kira 3.497 orang.

Untuk sehari – harinya mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Konjo.

Suku Kajang Ammatoa Yang Menolak Teknologi

Suku Kajang adalah suku yang menghormati alam, karena mereka hidup dan bertahan hidup dari alam.
Suku Kajang adalah suku yang menghormati alam, karena mereka hidup dan bertahan hidup dari alam.

Meskipun masih masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka mengatakan dengan keras kalau tanah yang mereka tinggali tidak termasuk kedalamnya.

Karena itu mereka menyebutkan juga untuk tinggal disini tidak memerlukan sertifikat tanah sama sekali.

Mereka juga bilang kalau tanah tempat mereka hidup ini tidak bisa diperjualbelikan, baik oleh seorang pemerintah sekalipun!

Suku Kajang Ammatoa memiliki rumah yang unik dengan gaya khas berupa rumah panggung seperti kebanyakan yang saya temukan selama acara jelajah Celebes bareng Terios.

Sebagian besar rumah dibuat dari Kayu, dengan corak yang bentuk rumah yang mirip.

Untuk menyambungkan tiap kayu, mereka tidak menggunakan paku besi sama sekali.

Paku besi oleh mereka dianggap sebagai produk yang sudah modern.

Agak aneh memang, mereka menganggap kalau paku besi adalah sebuah produk modern.

Kajang Luar: Perpaduan Tradisi dan Modernitas

Kajang Luar, sebuah komunitas yang berbeda dengan Kajang Dalam, telah membuka diri terhadap perubahan dan kemajuan, termasuk penggunaan listrik.

Kehidupan di Kajang Luar lebih mencerminkan gaya hidup yang relatif modern.

Di Kajang Luar, mereka memiliki penempatan dapur dan fasilitas buang air di belakang rumah, berbeda dengan Kajang Dalam yang meletakkannya di depan rumah.

Meskipun mengadopsi beberapa elemen modern, Kajang Luar tetap menjaga nilai-nilai tradisional dan identitas mereka sebagai bagian dari Suku Kajang.

Mereka mampu memadukan kebutuhan modern dengan warisan budaya mereka.

Kajang Luar menunjukkan bahwa mereka bisa mengintegrasikan perubahan dalam kehidupan sehari-hari mereka tanpa mengorbankan akar budaya dan tradisi yang mereka anut.

Mereka menunjukkan bahwa keberlanjutan dan adaptasi adalah kunci dalam menjaga identitas mereka sambil mengikuti perkembangan zaman.

Kajang Dalam: Keberlanjutan Kearifan Lokal, Menolak Penggunaan Teknologi

Kajang Dalam, suatu komunitas yang terletak di Bulukumba, Sulawesi Selatan, sangat teguh memegang nilai-nilai adat tradisional.

Mereka dengan tegar menerapkan kehidupan sederhana sebagaimana yang diajarkan oleh leluhur mereka.

Masyarakat Kajang Dalam meyakini bahwa penggunaan teknologi dapat memiliki dampak negatif dalam kehidupan mereka.

Mereka percaya bahwa teknologi dapat mengganggu hubungan manusia dengan lingkungan alam dan dapat merusak keberlanjutan sumber daya alam.

Oleh karena itu, masyarakat Suku Kajang Dalam Ammatoa masih sulit menerima kemajuan peradaban dari luar.

Bagi mereka, menjalani kehidupan yang sederhana seperti yang diwariskan oleh leluhur mereka lebih diutamakan daripada hidup dalam kemodernan.

Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Surabaya mengungkapkan pentingnya menjaga keberlanjutan dan nilai-nilai tradisional dalam komunitas Kajang Dalam.

Mereka menganggap kehidupan yang sederhana sebagai kekayaan yang tak ternilai dan menghormati kearifan lokal yang telah ditanamkan oleh leluhur mereka.

Dengan mempertahankan kehidupan yang sederhana dan menghindari pengaruh teknologi yang berlebihan, masyarakat Kajang Dalam berusaha menjaga keseimbangan dengan alam dan melestarikan kelestarian lingkungan.

Mereka percaya bahwa nilai-nilai tradisional ini merupakan warisan berharga yang harus dijaga dan diteruskan kepada generasi mendatang.

Bahasa Suku Kajang: Keunikan dan Adat Berbahasa

Pintu gerbang masuk ke area kekuasaan Suku Kajang.
Pintu gerbang masuk ke area kekuasaan Suku Kajang.

Bahasa yang digunakan oleh Suku Kajang adalah bahasa Makassar dengan dialek Konjo.

Dalam budaya dan norma yang dijunjung tinggi oleh suku Kajang, sangat dilarang untuk menggunakan bahasa yang kasar.

Bahkan dalam berbicara sehari-hari, sikap yang bersikap angkuh tidak diperbolehkan.

Warga suku di Bulukumba Sulawesi Selatan ini diajarkan untuk berkomunikasi dengan sopan santun, dengan melipat tangan di dada sambil membungkuk dan mengenakan sarung.

Ini merupakan bagian dari adat mereka yang menghormati orang lain dan menunjukkan sikap hormat dalam berbicara.

Dalam memberikan nama, mereka memiliki aturan khusus. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan nama malaikat, nabi, atau nama kebesaran Allah.

Hal ini dianggap sebagai tindakan yang tidak patut dan dapat menyebabkan perbuatan maksiat serta membawa dosa.

Bahasa Suku Kajang Ammatoa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya yang mereka anut.

Melalui bahasa, suku di Bulukumba Sulawesi Selatan ini menjaga adat dan tradisi mereka yang kaya warisan budaya, serta mempertahankan keunikan dan identitas mereka yang istimewa.

Pakaian Adat Suku Kajang: Keunikan dalam Kesederhanaan

Bapak Puto Saguni, juru bicara Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini yang menjelaskan dengan detail seputar adat dan keseharian mereka.

Pakaian adat suku ini memiliki keistimewaan yang unik.

Suku Kajang Ammatoa mengenal satu warna saja untuk pakaian adat mereka, yaitu warna hitam.

Warna hitam ini memiliki makna persamaan dalam segala hal, sekaligus menjadi simbol kesederhanaan.

Bagi suku Kajang, tidak ada perbedaan antara satu warna hitam dengan yang lainnya karena semua warna hitam dianggap sama.

Warna hitam juga memiliki makna lain yang dipahami oleh suku di Bulukumba Sulawesi Selatan ini.

Warna ini melambangkan kekuatan, kesetaraan, serta kedudukan setiap individu di hadapan Sang Pencipta.

Dalam pakaian adat mereka, suku Kajang mengungkapkan nilai-nilai keadilan, persaudaraan, dan penghargaan terhadap semua anggota komunitas.

Pilihan pakaian adat Suku Kajang yang hanya menggunakan warna hitam ini menjadi simbol identitas mereka yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan dan kesederhanaan.

Dengan kesederhanaan pakaian adat yang dijunjung tinggi, merka menjaga dan mempertahankan warisan budaya mereka yang unik dan menarik.

Kenali 5 Bagian Pakaian Adat Suku Kajang Yang Berwarna Hitam

Suku Kajang memiliki keunikan dalam pakaian adat mereka. Warna yang digunakan secara konsisten adalah hitam, yang memiliki makna kesederhanaan dan persatuan dalam segala hal.

Yuk, simak penjelasan mengenai pakaian adat Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini yang menawan!

Sarung Hitam (Tope Le’leng)

Tope le’leng adalah sarung hitam yang digunakan oleh masyarakat Kajang.

Sarung ini dibuat melalui proses tenun dan jahit yang dilakukan oleh orang Kajang sendiri.

Cara memakainya sama seperti sarung pada umumnya, baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Pengikat Kepala bagi Laki-laki (Passapu)

Passapu merupakan pengikat kepala khas Suku Kajang untuk laki-laki.

Terbuat dari tenunan hitam yang sama dengan sarung, passapu memiliki proses tenun yang khas.

Pengikat kepala ini menjadi bagian penting dalam pakaian adat Suku Kajang.

Baju Pokko (Pakaian Wanita)

Baju pokko adalah pakaian sehari-hari wanita Suku Kajang yang berwarna hitam.

Modelnya mirip dengan baju bodo, namun baju pokko tidak memiliki hiasan payet atau blink-blink.

Baju pokko menghadirkan kesederhanaan dalam tampilan pakaian adat wanita Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini.

Baju Tutu (Pakaian Pria)

Baju tutu juga menggunakan kain hitam dalam pembuatannya.

Modelnya serupa dengan baju pria pada umumnya, dengan kerah, dua saku di bagian depan, serta tersedia dalam model lengan panjang dan pendek.

Baju tutu menjadi pilihan pakaian adat yang elegan bagi pria Suku Kajang.

Pacaka (Celana Pendek Putih)

Pacaka adalah celana pendek di atas lutut yang digunakan oleh pria Suku Kajang dalam kehidupan sehari-hari.

Celana ini terbuat dari kain putih dan dijahit dengan benang atau kain pada bagian pinggang, berbeda dengan celana pada umumnya yang menggunakan karet.

Pakaian adat Suku Kajang dengan warna hitam mereka menampilkan keindahan dan nilai-nilai tradisional yang dijunjung tinggi.

Keunikan ini menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan dan diapresiasi oleh kita semua.

Tradisi Bakar Linggis Di Suku Kajang Ammatoa

Linggis ini dibakar hingga membara lalu kemudian dipegang untuk mencari siapa yang terbukti tidak jujur dan bersalah.
Linggis ini dibakar hingga membara lalu kemudian dipegang untuk mencari siapa yang terbukti tidak jujur dan bersalah.

Namun pada kenyataannya mereka mempunyai sebuah tradisi yang menggunakan linggis sebagai alat.

Lho linggis kan seharusnya juga produk modernisasi juga yak?

Tradisi yang saya maksud sendiri adalah tradisi “Bakar Linggis” yang dipertunjjukkan ketika saya dan tim terios 7 wonders baru saja sampai disana.

Dalam bahasa setempat tradisi “Bakar Linggis” disebut dengan upacara Attunu Panrolik.

Upacara adat ini biasanya dilakukan untuk mengetes kejujuran seseorang.

Misalnya terjadi kejadian pencurian, tradisi bakar linggis akan diadakan untuk mencari pelakunya.

Caranya adalah dengan membakar sebuah linggis sampai merah membara.

Kemudian semua orang yang dicurigai sebagai pencuri dikumpulkan.

Setelah itu setiap orang yang dicurigai tadi disuruh memegang bagian linggis yang membara satu persatu.

Jika yang memegang tidak terluka sama sekali, berarti ia bukanlah pencurinya.

Namun jika terluka, dapat dipastikan dia adalah pelakunya.

Entah tradisi “Bakar Linggis” tadi cuma mitos atau benar, saya tidak tahu.

Yang jelas ada beberapa anggota tim yang mencoba memegang linggis yang merah membara tadi, dan memang benar tidak terluka sama sekali.

Bukan sulap bukan sihir, begitu linggis yang membara ditaruh di tumpukan sampah kering.

Sampah tersebut langsung terbakar! Serem juga yak! :O

[ Baca Juga : Disambut Tarian Tradisional Suku Dayak Di Kampung Suku Dayak Desa Lopus Di Lamandau Kalteng ]

Rumah Adat Suku Kajang Ammatoa: Keunikan dan Filosofi Bangunan

Tipikal rumah yang digunakan untuk tinggal penduduk Suku Kajang. Semuanya terbuat dari bahan kayu.
Tipikal rumah yang digunakan untuk tinggal penduduk Suku Kajang. Semuanya terbuat dari bahan kayu.

Rumah adat suku Kajang memiliki bentuk yang hampir mirip dengan rumah adat suku Bugis-Makassar, yakni berbentuk rumah panggung.

Namun, terdapat perbedaan penting yaitu setiap rumah suku Kajang menghadap ke arah barat.

Keputusan ini memiliki makna spiritual bahwa membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dapat memberikan berkah.

Salah satu ciri khas suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini adalah keseragaman bentuk rumah mereka.

Tidak ada perbedaan signifikan antara satu rumah dengan rumah lainnya. Hal ini melambangkan kesederhanaan dan simbol dari keragaman budaya yang ada dalam komunitas mereka.

Selain itu, suku Kajang Ammatoa memiliki aturan khusus dalam membangun rumah mereka.

Mereka tidak diperbolehkan menggunakan batu bata dan tanah, melainkan hanya kayu.

Mereka meyakini bahwa penggunaan batu bata dan tanah hanya diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal, yang akan ditempatkan di liah lahat dan tanah.

Selain itu, penggunaan batu bata juga dianggap merusak hutan, karena proses pembuatan batu bata membutuhkan banyak kayu bakar.

Rumah adat suku Kajang tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal dan filosofi yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Dengan menjaga dan mempertahankan tradisi ini, mereka ikut melestarikan warisan budaya yang berharga.

Meyakini Ajaran Adat Yang Disebut Patuntung

Terios 7 Wonders - Diary Day 12, Kajang Yang Menolak Teknologi

Seperti tradisi bakar linggis, Suku Kajang atau masyarakat Ammatoa meyakini ajaran adat yang disebut Patuntung yang berarti mencari sumber kebenaran.

Ajaran mereka menyebutkan kalau seorang manusia itu wajib bersandar pada tiga pilar utama yaitu menghormati Tutiek Akrakna (Tuhan), tanah dari Tutiek Akrakna, juga nenek moyang.

Disebutkan oleh juru bicara mereka bapak Puto Saguni, Tutiek Akrakna menurunkan wahtyu pada Suku Kajang melalui manusia pertama bernama Ammatoa.

Tempat penurunan wahyu sendiri menurut mereka adalah tempat mereka sekarang tinggal yang kemudian mereka sebut dengan Tana Toa (tanah tertua).

Di Kajang ada seorang pemimpin atau ketua adat yang memimpin.

Pemilihannya dilakukan berdasarkan garis keturunan, dan seorang pemimpin Suku Kajang akan menjabat seumur hidup.

Katanya sampai sekarang ini posisi ketua adat sudah mencapai 22 generasi.

Beruntung saya bisa bertemu dengan ketua suku yang sedang berkuasa saat ini.

Meskipun saya tidak bisa mengabadikan dengan kamera karena memang tidak diperbolehkan membawanya selama bertemu dengan ketua Suku Kajang.

[ Baca Juga : Terios 7 Wonders : Diary Day 11, Mengenal Kapal Pinisi Dari Bulukumba Sulawesi Selatan ]

Keyakinan Suku Kajang: Hidup dalam Ketaatan kepada Allah

Setelah acara bakar linggis di demonstrasikan, saya dan sebagian tim Terios 7 Wonders diajak menemui kepala suku.
Setelah acara bakar linggis di demonstrasikan, saya dan sebagian tim Terios 7 Wonders diajak menemui kepala suku.

Kepercayaan yang teguh melandasi Suku Kajang Ammatoa adalah agama Islam.

Dalam bahasa Konjo, agama ini disebut sebagai “Sallang”, sementara Tuhan yang mereka sembah dengan penuh pengabdian adalah Allah, atau dalam bahasa Konjo dikenal sebagai “Turie’ A’ra’na”.

Agama Islam menjadi landasan spiritual bagi Suku Kajang dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Mereka hidup dalam ketaatan dan mengikuti ajaran-ajaran agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam peribadatan dan ritual keagamaan, suku di Bulukumba Sulawesi Selatan ini membangun hubungan yang erat dengan Allah, melalui doa, ibadah, dan pelaksanaan kewajiban agama.

Kepercayaan ini turut membentuk karakter dan nilai-nilai masyarakat Suku Kajang, seperti kejujuran, saling menghormati, serta menanamkan rasa syukur dan tawakal kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan.

Agama Islam menjadi pilar yang mempersatukan dan mengarahkan mereka untuk hidup dalam harmoni dengan alam, sesama, dan Sang Pencipta.

Dalam perjalanan sejarah dan peradaban, dengan penuh kebanggaan, mereka menjunjung tinggi agama Islam sebagai bagian integral dari identitas dan warisan budaya mereka.

Kepercayaan ini menjadi fondasi kuat yang memberikan mereka ketenangan, petunjuk, dan tujuan hidup yang bermakna.

Pernikahan dalam Adat Suku Kajang: Melestarikan Tradisi dan Kawasan Adat

Ini dia rumah kepala Suku Kajang Ammatoa.
Ini dia rumah kepala Suku Kajang Ammatoa.

Pernikahan merupakan institusi yang dijunjung tinggi oleh Suku Kajang, dan mereka memiliki aturan adat khusus yang mengatur proses pernikahan.

Masyarakat suku di Bulukumba Sulawesi Selatan ini terikat oleh adat yang mengharuskan mereka untuk menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat mereka.

Jika seseorang dari luar kawasan adat ingin menikah dengan seorang anggota Suku Kajang, mereka harus bersedia untuk hidup di luar kawasan adat tersebut.

Namun, terdapat pengecualian bagi pasangan yang dengan ikhlas dan tulus bersedia mengikuti semua aturan dan adat istiadat yang berlaku dalam kawasan adat Suku Kajang.

Pasangan tersebut harus menghormati tradisi dan nilai-nilai masyarakat adat serta siap untuk beradaptasi dengan kehidupan di dalam kawasan adat.

Peraturan ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan dan keutuhan kawasan adat Suku Kajang.

Dengan menikah di antara sesama anggota suku, mereka dapat menjaga dan memperkuat ikatan keluarga serta memelihara tradisi dan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pernikahan dalam adat Suku Kajang bukan hanya sekadar ikatan antara dua individu, tetapi juga melibatkan seluruh masyarakat adat yang memberikan dukungan dan menjaga keharmonisan dalam hubungan tersebut.

Pernikahan menjadi sarana untuk menjaga dan memperkuat jalinan sosial serta menjaga identitas dan keberlanjutan mereka sebagai komunitas yang unik dan berharga.

[ Baca Juga : Terios 7 Wonders : Diary Day 10, Sejenak Di Tanjung Bira ]

Suku Yang Sederhana dan Bersahaja

Ini bukan foto kepala suku, tetapi saya yang sedang berpakaian ala Suku Kajang Ammatoa. Semua serba hitam dan gelap!
Ini bukan foto kepala suku, tetapi saya yang sedang berpakaian ala Suku Kajang Ammatoa. Semua serba hitam dan gelap!

Keberadaan suku di Bulukumba Sulawesi Selatan ini memang unik.

Mereka adalah suku yang kukuh mempertahankan jati diri mereka sebagai suku yang masih berpegang teguh dengan keyakinan “tallase kamase-mase”.

Atau yang berarti menolak modernitas, juga hidup dengan sederhana dan bersahaja.

Keseharian mereka yang bertahan hidup dengan memanfaatkan hasil hutan tanpa berlebih, juga tidak mengganggu kelestarian alam pun membuat saya kagum.

Saya juga sedikit, entah bagaimana mereka hidup sehari – hari dengan menggunakan pakaian serba hitam dan berwarna gelap.

Tidak ada fashion, tidak ada saling pamer gemerlap aksesoris serba mahal di Suku Kajang ini.

Sayang sepertinya ada beberapa hal yang sedikit bertolak belakang dengan idealisme kesederhanaan mereka.

Ketika mengunjungi mereka, tim diwajibkan memakai pakaian serba hitam dengan harga sewa yang lumayan.

Yaitu IDR 250.000 untuk setiap set baju. Di dalam desa mereka saya juga banyak melihat banyak orang Suku Kajang Ammatoa yang merokok.

Bukankah rokok adalah sebuah produk modern ya?

Entah kepercayaan mereka yang mulai luntur, atau uang yang mengikis semuanya, saya tidak tahu.

Mungkin juga karena dunia semakin maju, menolak kemajuan secara totalitas itu semakin susah saja untuk saat ini.

Saya cuma berharap tradisi yang begitu unik ini tidak akan pernah hilang termakan zaman.

Pemimpin Suku Kajang: Ammatoa, Orang Suci yang Ditetapkan oleh Tuhan

Dalam komunitas Suku Kajang, Ammatoa adalah gelar yang diberikan kepada pemimpin adat tertinggi.

Menurut informasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Ammatoa memiliki arti “Bapak yang Ditua”.

Bagi masyarakat Kajang, Ammatoa dianggap sebagai orang suci yang dipilih secara langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Proses penunjukan Ammatoa tidak dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat atau berdasarkan garis keturunan, juga bukan hasil penunjukan dari pemerintah.

Ammatoa dipilih melalui sebuah prosesi ritual yang dilakukan di dalam hutan tombolo, tempat keramat yang disebut Turiek Akrakna (kehendak Ilahi).

Ammatoa menjabat dengan masa jabatan seumur hidup. Artinya, mereka akan tetap memegang jabatan tersebut hingga akhir hayat mereka.

Pemimpin suku di sini memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga adat, tradisi, dan kehidupan masyarakat Kajang secara keseluruhan.

Mereka merupakan pilar utama dalam menjaga nilai-nilai budaya dan melaksanakan tugas-tugas keagamaan serta mengoordinasikan kegiatan adat di dalam komunitas Suku Kajang.

Nilai-nilai Kepemimpinan Ammatoa yang dipegang teguh dalam Suku Kajang Ammatoa di Bulukumba Sulawesi Selatan.

Nilai Kejujuran

Kejujuran adalah nilai yang menjadi dasar utama dalam hubungan antarmanusia di masyarakat Suku Kajang.

Oleh karena itu, Ammatoa atau pemimpin diakui karena memiliki sifat jujur oleh masyarakat.

Ungkapan yang sejalan dengan nilai ini dalam masyarakat Kajang adalah “lambusunuji nukareng,” yang berarti karena kejujuranmu, kamu menjadi pemimpin.

Nilai Keteguhan

Keteguhan, atau yang dikenal sebagai “gattang” oleh masyarakat Suku Kajang, adalah nilai yang menggambarkan sifat kuat dan teguh dalam pendirian.

Sistem peradilan adat mereka tidak memihak, bahkan kepada kerabat atau anak sendiri.

Jika seseorang bersalah, mereka akan diputuskan bersalah tanpa pandang bulu.

Nilai Demokrasi

Meskipun Ammatoa tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi kepemimpinan tetap melibatkan partisipasi rakyat.

Aspirasi masyarakat tetap didengar dan dipertimbangkan oleh Ammatoa. Hal ini menjadi dasar kebijakan dan tindakan yang diambil oleh Ammatoa.

Nilai Persatuan

Persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat Suku Kajang Ammatoa dikenal sebagai “assikajangeng,” yang berarti bersama-sama orang Kajang.

Ammatoa selalu berupaya menjaga persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat, baik di kawasan adat maupun di luar kawasan adat Suku Kajang.

Salah satu bentuk persatuan tersebut adalah melalui musyawarah atau yang mereka sebut “abborong.”

Musyawarah dilakukan ketika hendak mengambil keputusan atau melakukan kegiatan penting dalam masyarakat Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini.

Kearifan Lokal Suku Kajang yang Menakjubkan dalam Penataan Ruang

Suku Kajang memiliki kearifan lokal yang luar biasa dalam penataan ruang.

Tidak hanya dalam hal fisik seperti pola perkampungan dan perumahan, tetapi juga melibatkan aspek manusia yang memengaruhi ruang tersebut.

Mereka menjunjung tinggi Pasang ri Kajang sebagai landasan untuk mencapai tujuan penataan ruang, yang melibatkan pengaturan, pelaksanaan, dan pengendalian penggunaan ruang dengan memerlukan interpretasi budaya yang baik.

Simbol-simbol yang ada selalu terkait dengan kearifan lokal dalam mengelola lingkungan dan ruang oleh setiap individu.

Dalam Pasang, mereka menyelaraskan diri dengan lingkungan dan alam.

Seperti yang diungkapkan oleh Ammatoa, “Jika kamu merusak hutan, sama artinya kamu merusak dirimu sendiri.”

Sebagai masyarakat yang hidup di Tana Toa, tanah kebersahajaan, Suku Kajang Ammatoa di Bulukumba Sulawesi Selatan ini menjunjung tinggi etika pergaulan yang sopan dan santun.

Beberapa adat istiadat mencerminkan hal ini, antara lain:

Adat Istiadat dalam Bertutur Kata

Masyarakat Kajang meyakini bahwa mereka diciptakan untuk saling menghargai satu sama lain, baik antarsesama maupun dengan masyarakat yang tinggal di tempat yang berbeda.

Berbicara dengan kasar adalah pantangan yang besar, dan akan mendapat celaan dari Suku Kajang lainnya jika berbicara dengan sikap yang kurang hormat.

Mereka diajarkan untuk berbicara dengan tangan dilipat di dada, membungkukkan badan, dan menggulung sarung.

Begitu juga dalam menyapa, mereka menggunakan sapaan yang akrab dan mulia seperti “Puto” untuk laki-laki dan “Jaja'” untuk perempuan.

Untuk sapaan kepada keluarga, mereka menggunakan sapaan sesuai dengan tingkat kelahiran, seperti “Kak Toa” untuk anak sulung, “Kak Tengnga” untuk anak tengah, dan “Lolo” untuk anak bungsu.

Selain itu, Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini memberikan nama kepada keturunan mereka berdasarkan nama hewan, musim, dan mata angin.

Adat Istiadat dalam Berpakaian

Setiap harinya Suku Kajang melarang penggunaan pakaian selain berwarna hitam dan putih.

Warna tersebut memiliki makna kesederhanaan menurut Pasang yang mereka yakini.

Sarung hitam yang dipakai oleh laki-laki dibuat oleh mereka sendiri melalui proses menenun dan merendamnya dalam larutan yang terbuat dari daun tarum untuk mendapatkan warna hitam pekat. Pakaian perempuan terdiri dari sarung dan baju bodo berwarna hitam pekat.

Nilai-nilai Sosial

Suku Kajang meyakini bahwa Pasang memuat nilai dan adat istiadat yang mencakup perilaku mereka.

Beberapa nilai tersebut meliputi rasa malu (siri’), pantangan (kasipalli), dan kesenian.

Adat istiadat yang mereka pegang antara lain nilai kejujuran, kesabaran, ketegasan, dan tenggang rasa.

Mereka juga mengenal siri’ sebagai perilaku yang akan menimbulkan rasa malu dan hukuman berat jika dilakukan oleh Suku Kajang Ammatoa.

Sedangkan kasipalli merupakan larangan berat yang memiliki hukuman yang lebih berat daripada siri’.

Suku Kajang suku di Bulukumba Sulawesi Selatan ini juga memiliki kesenian temporar dan insidental, seperti tari Pabitte Passapu, permainan gendang, dan pencak silat pada acara perkawinan.

Mereka memahami bahwa dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara menuju akhirat.

Untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, mereka mengadopsi pola hidup yang sederhana.

Pola hidup sederhana ini memengaruhi cara mereka mengatur ruang dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sikap sederhana ini juga berdampak pada cara mereka memenuhi makanan, pakaian, lahan pertanian, rumah, dan penggunaan sumber daya hutan secara tidak berlebihan atau sembarangan.

Dengan kearifan lokal yang mereka anut, Suku Kajang menjaga keseimbangan antara manusia, lingkungan, dan alam.

Nilai-nilai dan adat istiadat mereka menjadi pijakan penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan lestari.

Filosofi yang Menyentuh Hati dari Suku Kajang Ammatoa

Filosofi yang dipercaya oleh mereka ini memberikan inspirasi dan pengajaran berharga bagi kita semua.

Mereka mengajarkan tentang pentingnya kesederhanaan, harmoni dengan alam, dan saling memberi manfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga filosofi ini dapat terus diterapkan dan dihormati oleh generasi Suku Kajang dan juga oleh kita semua.

Filosofi Tempat Tinggal

Rumah-rumah Suku Kajang menghadap ke arah Barat dengan alasan yang dalam.

Barat dianggap sebagai arah simbolik nenek moyang mereka.

Selain itu, konsep rumah mereka seragam tanpa perbedaan sedikit pun.

Hal ini dilakukan untuk mengekspresikan nilai kesederhanaan dan keseragaman.

Menariknya, mereka tidak membangun rumah dengan batu bata atau tanah.

Mereka menganggap bahwa hanya orang mati yang dikelilingi oleh liang kubur dan tanah.

Namun, beberapa keluarga Suku Kajang masih menggunakan batu sebagai bahan bangunan rumah mereka.

Meskipun mereka masih hidup, Suku Kajang lainnya menganggap keluarga mereka “mati” berhubungan dengan pantangan tersebut.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa filosofi ini sebenarnya dilakukan oleh Suku Kajang Ammatoa untuk melindungi hutan.

Mengingat pembuatan batu bata membutuhkan kayu lebih banyak untuk pembakarannya.

Dengan larangan membangun rumah dengan batu bata, penebangan hutan dapat dikurangi secara tidak langsung.

Lebih lanjut, bagian-bagian rumah Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini juga memiliki filosofi tersendiri, di antaranya:

  • Parra: Bagian atas rumah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan makanan.
  • Kale Balla: Bagian tengah rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal.
  • Sirih: Bagian bawah atau kaki rumah yang digunakan untuk menenun, menumbuk padi atau jagung, dan tempat ternak.

Semua rumah Suku Kajang memiliki bentuk yang serupa, dengan 16 tiang yang ditanam.

Kale Bolayya terdiri dari tiga bagian yang dipisahkan oleh pappamuntulang, yaitu latta riolo (tempat tamu), latta tangnga (tempat tuan rumah menerima tamu), dan tala-tala (tempat tidur kaum wanita).

Ketika ada pengantin baru, tala-tala dibuat sedikit lebih tinggi dari dua bagian rumah lainnya, dan mereka juga memiliki kamar khusus yang disebut bili’i.

Rumah bili’i memiliki dinding papan, lantai bambu yang diikat satu sama lain, bertapa rumbia, dapur, dan tempat buang air kecil.

Di ujung atapnya terdapat hiasan yang menyerupai ekor ayam yang disebut anjong.

Pemukiman Suku Kajang di Bulukumba Sulawesi Selatan ini didasarkan pada arah ketinggian. Mereka berbeda dengan masyarakat Bugis di Makassar yang umumnya mengikuti aliran sungai atau pola pemukiman linear.

Menurut mereka, rumah yang menghadap gunung tidak baik jika menghadap lembah.

Hal ini dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa pemukiman mereka dipilih agar rezeki yang datang dari Tuhan dapat diterima secara langsung, tanpa perantara.

Pemukiman seperti itu juga dipilih agar rezeki tidak tersebar dan tidak melibatkan hal-hal yang tidak halal.

Filosofi Alam

Seperti masyarakat adat lainnya di Indonesia, Suku Kajang Ammatoa sangat menjaga hubungan harmonis dengan alam.

Meskipun mereka tidak memiliki pengetahuan formal dan hidup tanpa teknologi canggih, Suku Kajang memahami bagaimana berinteraksi dengan alam, terutama dengan hutan mereka.

Mereka menyadari bahwa sumber daya alam tidak seharusnya dieksploitasi, tetapi harus dijadikan mitra dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan yang mereka yakini ada dalam sakralitas alam.

Merusak lingkungan dan alam sama saja dengan mengkhianati ajaran Tuhan dan Ammatoa yang memberikan mereka kehidupan.

Mereka menghormati dan mematuhi aturan adat yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam.

Jika ada yang melanggar aturan tersebut, mereka harus siap menghadapi konsekuensi yang berat.

Filosofi Manusia

Selain menghormati alam, Suku Kajang memiliki tata tertib sendiri dalam mengatur hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.

Mereka memiliki landasan hidup dan membina kehidupan sosial sesuai dengan perintah Tuhan.

Secara garis besar, perilaku mereka didasarkan pada dua aspek, yaitu hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal dengan manusia lain.

Suku Kajang Ammatoa di Bulukumba Sulawesi Selatan ini percaya bahwa kehidupan sosial sebagai makhluk sosial harus didasari oleh saling memberi manfaat dan kebaikan.

Mereka meyakini bahwa hubungan antarmanusia harus didasarkan pada prinsip ini.

Selanjutnya, kewajiban-kewajiban lain akan mengikuti, terutama dalam hubungan dengan alam semesta.

Manusia dan alam memiliki hubungan saling membutuhkan.

Manusia membutuhkan alam sebagai sumber kebutuhan hidup, sedangkan alam membutuhkan manusia untuk menjaganya agar lestari.

Dalam menjaga hubungan dengan alam semesta, Suku Kajang Ammatoa mengandalkan beberapa unsur, yaitu:

  • Unsur tentang Tuhan dan kekuatan gaib.
  • Unsur tentang roh dan kehidupan setelah mati, seperti surga dan neraka.
  • Unsur etos kerja dan etika, yang berhubungan dengan tujuan religius dan keinginan untuk mencapai akhirat.
  • Unsur asal-usul alam semesta.

Dengan mengikuti aturan ini, mereka yakin bahwa manusia dan alam memiliki hubungan yang saling membutuhkan.

Manusia membutuhkan alam sebagai sumber kehidupan, sementara alam membutuhkan manusia untuk menjaganya agar lestari.

Ps: Tulisan ini adalah catatan perjalanan saya selama mengikuti ekspedisi terios 7 wonders, jelajah celebes heritage. Ikuti terus live tweet saya di #Terios7Wonders @catperku.

Berani Bermimpi, Berani Traveling, Berani Bertualang!
Ikuti travel blog catperku di social media : Instagram @catperku, Twitter @catperku & like Facebook catperku. Travel blog catperku juga menerima dukungan dengan donasi, dan atau ajakan kerjasama.


Rijal Fahmi Mohamadi

Rijal Fahmi Mohamadi

Fahmi adalah seorang Digital Marketer, Travel Enthusiast, Geek Travel Blogger dari Indonesia penulis catperku.com, Penulis Buku perjalanan Traveling The Traveler Notes Bali The Island Of Beauty dan The Traveler Notes Bersenang-Senang di Bali, Bertualang di Lombok. Pernah disebutkan, mentioned in Lonely Planet Indonesia 2019 as Best in Blogs. Mau menyapa saya? Kunjungi media sosial pribadi saya, atau hubungi lewat email [email protected] jika Anda ingin mengajak saya bekerja sama dan berkolaborasi.
https://catperku.com


Comments

  1. Huaaaa.. Kangen deh ke Kajang. kamu di sini nginepkah kak? Aku nginep di rumah kepala suku kajang luar yang kamu foto itu pas pake baju adat. Trus juga sempet masuk ke rmh kades kajang dalem dan main2 sama istrinya.. :’)

    1. Rijal Fahmi says:

      Aku enggak sampe nginep kak, tapi sempet diajak masuk ke dalam rumah kepala suku kajang dalam. Agak ngeri juga waktu di dalem rumah mereka, entah mereka ngobrolin apa di dalam rumah ketua suku kajang-nya. Tapi kata si penerjemah ngomongin hal serem, bisa – bisa malah kita gak boleh pulang :|

  2. fajar surya says:

    Selamat siang mas dan salam kenal. mas mau tanya kalau dari tanjung bira ke suku kajang berapa jam ya mas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *